Internet menciptakan candu, lebih dari Agama, melalui peranti teknologi, ia menyebarkan dogma berbasis data dan menawarkan keputusan berbasis analisis-data.
Apa yang paling tidak-bisa kamu hindari?
“Mencari di Internet”, mencari nama jalan, foto, lagu, video dan orang, semua ada di internet. Mesin telah menyediakan sekaligus menjawab keinginan kita, sudah mirip seperti Tuhan yang memberi setiap jawaban atas persoalan manusia di dunia. Masjid telah kalah ramai ketimbang warnet, sekarang warnet digantikan hape pintar, orang mencari jawaban, orang ingin mengatasi masalah, internet adalah solusi.
Belajar memasak, seorang anak bisa menonton video tutorial kemudian menpraktikan tehnik yang di ajarkan chef paling berpengalaman dengan mudah. Belajar bisa cepat karena menyenangkan dan banyak pilihan tutorial, lengkap dengan kategori dan durasi sesuai keinginan. Namun biaya berupa jejak digital, identitas diri, dan letak geografis tak sebanding dengan apa yang dipelajari.
Dibalik video memasak, ada mesin yang sedang mendulang identitas, melacak lokasi akses internet, jalan dan nomor rumah, semua itu dikerjakan oleh algorithma dengan cepat.
Setelah WhatsApp dibeli oleh Mark pada tahun 2016, Instagram lebih dulu dibeli pada tahun 2014 oleh perusahaan raksasa bernama Facebook.
Orang dialihkan dari satu aplikasi ke aplikasi lain dalam satu perusahaan yang sama. Prinsipnya adalah mengubah pengguna menjadi pembeli. Iklan, atau perusahaan yang mau mengiklan di Facebook bukan lagi tanggungan utama, jika pengguna justru menjadi ladang uang mereka. Kuncinya di pengguna.
Apakah kamu salah satu pengguna Instagram, Facebook, Messenger, atau WhatsApp?
Sekarang, keempat aplikasi ini hampir digunakan orang di Bumi. Kesemuanya punya satu kesamaan, ‘ingin terhubung’ dengan yang lain, berkomunikasi, berjualan dan bertransaksi.
Selalu ada nilai di antara komunikasi yang diperantarai sosial media.
[1] Apa yang paling kamu inginkan dari melihat-lihat feed di Instagram?
Saya tidak menginginkannya, tetapi jika dilihat lihat feednya bagus juga dan saya tertarik mempelajarinya lebih jauh. — mungkin ini jawaban yang tepat bagi saya.
Algorithma, benar-benar mengarahkan penglihatan orang pada hal-hal yang paling diinginkan berdasarkan ‘jejak hasil pencarian mereka’ di Instagram. Konse ini diterapkan di Fb, Instagram, WA dan messenger.
Feed bagus belum tentu bernilai pengetahuan, malah hanya bersifat informatif saja, dan tidak sedikit yang pseudo-knowledge (seolah olah pengetahuan). Pengetahuan setidaknya memiliki aspek metodologi yang jelas, disiplin ilmu yang kuat dan sumber bacaan yang tepat. Tidak seperti pseudo-knowledge, ini mengkaburkan pengetahuan, bukan pengetahuan namun dianggap ilmu-pengetahuan. Jika sudah seperti ini; pengetahuan kita hanyalah informasi, tidak berdasarkan aspek ilmu-pengetahuan yang jelas. Yang terjadi, dalam sosial media; konten tidak demikian, lebih tidak mendidik, bullying, prank, atau malah pornografi. Penyebarannya juga cukup luas dan sangat cepat, forwarding lebih mudah, namun sistem verifikasi diri sangat lemah. Hingga, konten propaganda atau ajakan untuk membeli lebih mudah menjadi viral ketimbang ajakan untuk menanam hutan.
Selain itu, orang suka ‘sesuatu yang trending’ apapun itu, pasti disukai, di like, di share dan di komen. Dampaknya, kita menciptakan budaya baru bernama bias informasi, menanggapi berbagai informasi hanya sebatas reaksioner, tanpa kajian mendalam.
[2] Apakah cukup memberi pengetahuan? Atau sekedar kesenangan?
Membedakan antara pengetahuan dan kesenangan tidaklah mudah. Apa yang dianggap menyenangkan, faktanya belum tentu pengetahuan, atau sebaliknya. Menikmati feed fulgar lebih nikmat dan bikin candu. Tanpa perlu berfikir dampaknya pada ‘cara berfikir’ pikiran diri sendiri. Yang terjadi adalah; sering bicara tanpa tahu landasan dasarnya. Memperlihatkan isi konsumsi pikirannya, bukan pengetahuan filosofis atau sosial, tetapi prank dan kumpulan feed fulgar dalam isi kepalanya.
Kesenangan yang didapat dari hasil feed instagram tidak bisa dijadikan landasan berfikir, apalagi hidup dan berinteraksi secara manusiawi. Orang dianggap konten, pertemuan dianggap story, dan perbincangan dianggap tawar menawar harga.
Manusia hidup tak lagi berinteraksi secara alami, tetapi karena polarisasi media maya sekaligus kebekuan berfikir mendalam.
Kita sama sama memiliki pikiran dan bisa berfikir, yang membedakan hanyalah di konsumsi dan tindakannya saja.
This post was created with our nice and easy submission form. Create your post!