Jean-François Lyotard ialah tokoh fenomenal pada diskursus postmodernisme, terutama melalui karyanya yang berjudul “La Condition Postmoderne: Rapport sur le Savoir” (1979) atau dalam bahasa Inggris “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge”. Dalam karya ini, Lyotard mengeksplorasi perubahan mendasar dalam cara kita memahami dan mengorganisir pengetahuan, serta implikasi dari perubahan ini terhadap masyarakat dan budaya kontemporer. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan konsep-konsep kritis dari pemikiran Lyotard terhadap postmodernisme, dengan mengacu pada beberapa referensi ilmiah yang relevan.
Penolakan terhadap Narasi Besar (Grand Narratives)
Gagasan utama pemikiran Lyotard ialah penolakannya terhadap narasi besar atau grand narratives. Menurutnya, modernisme masih didasarkan pada keyakinan bahwa ada narasi besar yang bisa menjelaskan dan melegitimasi semua aspek kehidupan manusia, seperti ide kemajuan, rasionalitas, dan emansipasi. Namun kenyataannya, dalam kondisi postmodern, ia berargumen bahwa narasi-narasi besar ini telah kehilangan kredibilitasnya. Dia mengklaim bahwa “ketidakpercayaan terhadap metanarasi” adalah ciri khas dari kondisi postmodern (Lyotard, 1979).
Narasi besar sering kali menyederhanakan kompleksitas pengalaman manusia dan memaksakan satu versi kebenaran atas semua orang. Dalam konteks ini, Lyotard menyarankan bahwa seseorang harus mengakui dan menghargai keberagaman perspektif dan pengalaman sebagai manusia. Penolakan terhadap narasi besar memungkinkan seseorang membuka ruang bagi narasi-narasi kecil (petit récits) yang lebih inklusif dan pluriform, yang sekaligus mencerminkan keragaman pengalaman sebagai manusia secara lebih adil dan realistis.
Fragmentasi dan Pluralitas Pada Otoritas
Konsep fragmentasi dan pluralitas adalah aspek penting lain dari pemikiran Lyotard tentang postmodernisme. Dalam masyarakat postmodern, tidak ada lagi satu otoritas tunggal atau satu cara untuk memahami dunia. Sebaliknya, ada banyak pandangan yang bersaing dan tidak ada yang memiliki klaim tunggal terhadap kebenaran. Lyotard menggambarkan ini sebagai “permainan bahasa” (language games), di mana berbagai cara berbicara dan berpikir saling bersaing dan berinteraksi tanpa ada satu cara yang dominan. Menurutnya, kondisi ini menciptakan peluang bagi bentuk-bentuk baru kreatifitas dan ekspresi, namun juga membawa tantangan baru terkait dengan fragmentasi sosial dan epistemologis. Dalam dunia yang terfragmentasi, sulit untuk mencapai konsensus atau kesepakatan umum, karena tidak ada dasar tunggal yang bisa dijadikan acuan. Namun, menurutnya melihat pluralitas sebagai sesuatu yang positif karena memungkinkan kebebasan dan keberagaman yang lebih besar.
Memahami Pengetahuan dan Teknologi dalam Kerangka Postmodern
Menarik membahas Lyotard melalui sudut pandang ini, ia juga mengkaji bagaimana teknologi dan pengetahuan berperan dalam kondisi postmodern. Pada kondisi yang signifikan, ia menyoroti perubahan dari masyarakat yang berbasis produksi dan industri ke masyarakat yang berbasis informasi dan pengetahuan. Pada konteks ini, pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang memiliki nilai intrinsik, tetapi lebih sebagai komoditas yang diperdagangkan dan dikendalikan oleh kekuatan pasar. Menurut Lyotard, teknologi informasi telah mengubah cara kita menghasilkan, menyebarkan, dan mengonsumsi pengetahuan. Pengetahuan menjadi terfragmentasi dan tersebar dalam jaringan global yang kompleks. Ia menggambarkan kondisi ini sebagai “informatization of society,” di mana nilai informasi ditentukan oleh utilitas dan efisiensinya dalam konteks ekonomi. Ini menimbulkan pertanyaan etis dan politis tentang siapa yang mengontrol pengetahuan dan bagaimana kekuasaan didistribusikan dalam masyarakat.
Batas-Batas Estetika Postmodern
Pada bidang estetika, Lyotard menunjukkan bahwa seni postmodern sering kali menolak struktur dan bentuk yang baku, dan lebih memilih eksperimentasi dan eklektisisme. Seni postmodern menolak batasan-batasan tradisional antara bentuk seni yang berbeda, mengaburkan garis antara tinggi dan rendah, serta antara komersial dan non-komersial. Lyotard menyebut ini sebagai “kebangkitan estetika pluralisme,” di mana tidak ada satu gaya atau metode yang dianggap superior.
Seni postmodern juga sering kali kritis terhadap ide representasi dan mimesis, lebih memilih untuk mengeksplorasi cara-cara baru dalam menciptakan makna dan pengalaman estetis. Ini mencerminkan bahwa pandangan Lyotard dalam dunia postmodern adalah tentang kewaspadaan terhadap klaim-klaim kebenaran yang absolut dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan dan interpretasi yang terjadi setiap hari.
Implikasi Sosial dan Politik Terhadap Identitas
Postmodernisme dalam pemikiran Lyotard memiliki implikasi yang luas dalam bidang sosial dan politik. Ia menantang kita mempertimbangkan kembali cara kita memahami identitas, komunitas, dan kebijakan publik dalam konteks dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi. Penolakannya terhadap narasi besar berarti bahwa kita harus menemukan cara baru untuk membangun solidaritas dan kohesi sosial yang tidak bergantung pada ide-ide universal atau homogenitas.
Selain itu, ia tak lupa menyebut keadilan sebagai bagian yang sangat vital dalam kondisi postmodern. Menurutnya, manusia perlu mengembangkan bentuk-bentuk baru keadilan yang mengakui dan menghormati perbedaan, bukannya mencoba untuk menekannya. Cara ini melibatkan pengakuan terhadap hak-hak individu dan kelompok minoritas, serta penerimaan terhadap pluralitas dan keberagaman sebagai nilai-nilai positif.
Catatan Akhir
Pemikiran kritis Jean-François Lyotard terhadap postmodernisme memberikan kerangka besar yang berguna dalam memahami perubahan mendasar pada masyarakat kontemporer. Melalu penolakannya terhadap narasi besar, ia menekankan fragmentasi dan pluralitas, serta mengeksplorasi peran pengetahuan dan teknologi, Lyotard mengajak kita melihat dunia dengan cara yang lebih kompleks dan inklusif. Meskipun tantangan yang dihadapi dalam kondisi postmodern tidak sedikit, gagasan-gagasan Lyotard membuka peluang bagi bentuk-bentuk baru kreativitas, kebebasan, dan keadilan yang lebih sesuai dengan realitas dunia yang semakin beragam dan dinamis.
Referensi
- Lyotard, Jean-François. (1979). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press.
- Malpas, Simon. (2005). The Postmodern. London: Routledge.
- Jameson, Fredric. (1991). Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.
- Kellner, Douglas. (1988). Postmodernism as Social Theory: Some Challenges and Problems. Theory, Culture & Society, 5(2-3), 239-269.
- Connor, Steven. (1989). Postmodernist Culture: An Introduction to Theories of the Contemporary. Oxford: Blackwell.