Ketika satu orang menderita Delusi, itu disebut kegilaan. Ketika banyak orang menderita Delusi, itu disebut Agama
Robert M. Pirsig
Tulisan ini sama sekali tidak komprehensif, hanya melalui satu sudut pandang dan tidak memenuhi syarat akademis, namun saya mempertegas salah satu pandangan bebas tentang Tuhan, yang tidak perlu dibayangkan (pembenarannya).
Seorang yang mengajak saya menjajaki pengetahuan tentang Agama justru datang dari Biologi, adalah Prof. Richard Dawkins, Profesor ahli Biology Evolusioner Universitas Oxford yang sampai sekarang kajiannya mengenai Atheisme lebih laris ketimbang disiplin Ilmunya sendiri. Ia bicara lebih lantang persoalan Atheisme, dengan pandangan sinisnya yang menunjukkan bahwa Agama dinilai sebagai sarang kekerasan, pengeboman, terorisme dan pemusnahan ras manusia atas nama Tuhan.
Sanggahan Dawkins atas keberadaan Tuhan dianggap sebagai ‘Hipotesa Tuhan’ yaitu suatu hipotesa ilmiah tentang alam semesta yang perlu dianalisa secara ragu-ragu sebagaimana hipotesa lain dalam kajian ilmiah.
Statemen Dawkins tentang Agama dimulai dengan menyatakan bahwa Dunia akan baik-baik saja tanpa Agama. Tetapi, secara garis besar, manusia tidak bisa ‘baik-baik saja tanpa Agama’ statemen ini kiranya akan membalik arah pemahaman tentang cara berfikir Dawkins yang menyenangkan. Selanjutnya, ada atau tidaknya Agama, manusia tetap tidak baik baik saja. Pada masa ini, begitulah sikap yang diambil oleh penganut ateisme abad 21.
Alih-alih memperbincangkan sains, Agama lebih menarik dibahas dan di beredel dengan pendekatan eksakta, sampai sampai orang yang tidak memahami ilmu eksakta, malahan kembali kepada ilusi-ilusi imajiner yang menyenangkan yang tidak mengancam dirinya sendiri.
Bagi Dawkins, orang yang ber-Agama dianggap cenderung menyukai tindakan apologenik, sikap-sikap ilusif dengan dalih Agama dan tidak mau mengakui keberadaannya dengan cara Atheis. Orang beragama lebih suka kembali masuk tempurung meski dunia sedang cerah di luar sana.
Istilah yang disematkan Dawkins, mulanya disebut ‘relusion’ namun kata ‘delusion’ menurutnya lebih tepat karena mendeskripsikan apa yang ia maksud tentang ‘suatu keyakinan atau kesan yang salah’
Ketika satu orang menderita Delusi, itu disebut kegilaan. Ketika banyak orang menderita Delusi, hal itu disebut Agama
— Robert M. Pirsig, penulis Zen and the Art of Motorcycle
Mengapa melihat bintang yang sama bisa membawa saya pada pendalaman kesemestaan, tetapi disaat yang sama membawanya pada renungan-renungan masa lalu?
Pertanyaan yang sulit dijawab bagi para pencari keraguan.
Bahwa yang ‘Tuhan’ yang dibayangkan terlihat sering dimanifestasikan oleh ‘orang beragama’ sebagaimana kehendak-kehendaknya sehingga mereka ‘orang beragama’ kebingungan tentang Tuhan mana yang mereka sembah. Maka, yang sering tidak sengaja terpahami ialah manifestasi diri keluar menjadi seolah-olah manifestasi Tuhan. Yang kemudian, para naturalis religius seperti Hawking berfikir tentang Naturalis sebagai sebuah ambiguitas. Berbeda dengan Einstein yang mengaku dirinya seorang yang ‘percaya pada keyakinan’. Bahasa Eintein lebih mengarah pada kecenderungan spiritualitas yang ia yakini ketimbang atheisme yang sering ditautkan pada dirinya.
Kekaguman Einstein akan Filsafat Spinoza yang berbunyi “ Saya percaya pada Tuhan yang menyingkap dirinya dalam tatanan harmoni dari apa yang ada, bukan pada sebuah Tuhan yang sibuk dengan nasib dan tindakan umat manusia?”
Hal menarik lainnya, kalau ialah tentang kehadiran Tuhan. Umat manusia, selain nabi dan rosul yang mengalami kehadiran Tuhan, entah mereka ini sufi, wali atau kiyai. Pengalaman spiritual ini laiknya sebuah ungkapan yang mendasarkan pada pemahaman bahwa manusia itu akan kembali kepada nyawa yang abadi.
Keyakinan seorang Agamawan (theis) indoktriner menurutnya begini, ‘inteligensia supernatural’ (Tuhan), di samping kerja utamanya menciptakan alam semesta, juga masih hadir untuk mengawasi dan mempengaruhi nasib berikutnya dari ciptaannya itu. Pada berbagai sistem keyakinan theistik, Tuhan seringkali terlibat di berbagai persoalan manusia, ia menjawab Doa, memaafkan atau menghukum dosa-dosa; ikut campur di dunia dengan menghamparkan mukjizat; cerewet menyangkut perbuatan baik dan buruk, dan tahu kapan kita akan melakukan perbuatan-perbuatan itu, atau bahkan tahu kapan kita berpikir untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Tuhan Deistik, juga percaya pada intelegensia supernatural yang aktifitasnya terbatas hanya pada mengurusi tatanan alam, dan jelas tidak memiliki minat pada urusan-urusan manusia. Beda lagi dengan kalangan Pantheis, mereka sama sekali tidak percaya Tuhan, namun menggunakan kata ‘Tuhan’ sebagai persamaan dari kata ‘non-supernatural’ bagi alam, yang tidak lain menyatakan tentang ‘keteraturan alam’.
Pantheisme merangsang Atheisme, Deisme melemahkan theisme.
Religius dalam pengertian Dawkins — mengutip dari Einstein “Merasa bahwa di balik segala sesuatu yang dialami terdapat sesuatu yang tidak dapat dipahami pikiran kita dan yang keindahan dan keagunganya sampai pada kita hanya secara tidak langsung dan sebagai suatu pantulan yang lemah — inilah kereligiusan. Dalam pengertian ini juga saya religius, dengan syarat bahwa “yang tidak dapat dipahami” tidak harus berarti “selamanya tidak dapat dipahami”.
Religius akan terlihat menyesatkan saya ‘Dawkins’ bahwa bagi sebagian besar orang ber “Agama” mengandaikan sesuatu yang “supernatural”
Kasus-kasus keanehan orang beragama, menganggap gambar Nabi yang dilukis oleh Jylland Poeston menjadi sebuah penyerbuan massal kepada umat lain, Denmark dan Para Kartunis di dunia, bahwa apa-apa yang berkaitan dengan Jylland ialah halal hukumnya untuk dibunuh. — maka inilah yang menurut Dawkins bahwa Agama yang menyuarakan perdamaian akan membunuh siapa saja yang menyatakan bahwa Islam adalah agama Kekerasan.
Agama dari suatu masa adalah hiburan sastra bagi masa berikutnya — Ralph Waldo Emerson
Hipotesa Dawkins tentang Tuhan:
Ada sebuah manusia-super, suatu inteligensia supernatural yang secara sadar merancang dan menciptakan alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, termasuk kita. buku ini mendukung suatu pandangan alternatif: inteligensia kreatif apa pun, dengan kompleksitas yang memadai untuk merancang semua hal, ada hanya sebagai hasil akhir dari suatu proses evolusi bertahap yang diperluas.
Bahwa pengakuan atas Eksistensi Tuhan dan Non-Eksistensi Tuhan itu sama sama ‘kemungkinan’ maka ini bukanlah persoalan ‘jika’ — ‘maka’ namun tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’ suatu alasan-alasan masuk akal dapat diterima kaum dogmatis sekaligus tanpa klaim agnostis, karena keduanya sama-sama ‘kemungkinan’
Heavens itu bukan surga, melainkan cakrawala, sebuah pelebaran horison tentang ‘pengetahuan’, sebuah pergerakan pemikiran dari ‘ketidakmengertian’ pada ‘kesalingpahaman’, dan Agama mempelajari tentang surga (heavens)
Richard Swinburne — is there a God?
Kecemasana akan hasil, maka ketidaktahuan menjadi lebih menyenangkan dalam melakukan proses, ketimbang tahu akan hasil.
“Performance of anxiety” adalah tindakan yang didasarkan pada kegelisahan batin, suatu ‘angst’ atas religiusitas yang entah dilegitimasi oleh agama apapun rasanya mentah, dan kementahan itu menyebabkan orang melakukan tindakan-tindakan yang membuat dirinya sendiri cemas.
Persoalan batin yang mendalam semacam ini hampir tidak ditemukan di Eropa atau di Amerika, lain halnya di Indonesia. Realitas yang berbeda negara lain, dimana ada konsep kebatinan yang dapat melahirkan Agama Jawa Kuno. Dari satu entitas kebatinan itu, lahirlah beragam aliran kebatinan yang beragam wujud dan penyembahannya. Yang kalau dalam bahasa saya, meminjam istilahny Dawkins adalah Keteraturan yang tidak beraturan dan pasti.
Apakah kamu sedang membayangkan Tuhan?